Matahari terbit di Bandara Sultan Hasanuddin Makassar |
Tanggal 22 Desember 2011 adalah hari dimana saya dan anak-anak berangkat dari Makassar menuju kampung halaman di Bogor. Kami pulang, berhenti dari hidup merantau dan berpindah-pindah tempat tinggal. Saat itu Bapa tidak ikut karena masih bekerja di Makassar. Saya harus pulang lebih cepat untuk mengurus pindah sekolah Aa Dilshad dan mencarikan sekolah untuk Kk Rasyad.
Sejak menapakkan kaki di kampung halaman, saya langsung disibukkan dengan banyak urusan. Berat untuk memulainya tanpa suami yang mendampingi. Bapa menyusul pulang pada akhir bulan Februari 2012. Cobaan pun datang, Nenek (ibu mertua saya) meninggal setelah sekian lama sakit. Cerita tentang Nenek bisa dilihat disini . Ditengah suasana duka, saya kemudian melanjutkan apa yang sudah kami rencanakan saat masih berada di rantau, memulai hidup baru.
Kembali ke kampung halaman berarti mulai menata hidup baru. Kami tidak lagi menjadi warga pendatang sekarang. Kami juga bukan ‘orang asing’ di lingkungan tempat kami tinggal. Selama 11 tahun menikah, kami sempat tinggal selama 2 tahun di kampung sendiri, selebihnya kami tinggal di kampung orang lain. Dengan tinggal menetap, kami bisa lebih leluasa menata masa depan tanpa dipusingkan urusan pindah rumah berkali-kali.
Kembali ke kampung halaman berarti mulai menata hidup baru. Kami tidak lagi menjadi warga pendatang sekarang. Kami juga bukan ‘orang asing’ di lingkungan tempat kami tinggal. Selama 11 tahun menikah, kami sempat tinggal selama 2 tahun di kampung sendiri, selebihnya kami tinggal di kampung orang lain. Dengan tinggal menetap, kami bisa lebih leluasa menata masa depan tanpa dipusingkan urusan pindah rumah berkali-kali.
Leluasa
menata masa depan yang saya maksud antara lain adalah: merencanakan tempat
sekolah anak-anak (bahkan sampai jenjang perguruan tinggi), memperbaiki rumah, memulai bisnis
sendiri untuk menambah penghasilan keluarga, lebih serius memberi perhatian pada orangtua saya dan orangtua suami, dan memperluas relasi serta semakin
banyak menjalin silaturahmi dengan warga sekitar. Semua itu akan sulit
dilakukan jika kami masih hidup merantau.
Langkah pertama menata masa depan: mengurus sekolah.
Aa Dilshad ingin bersekolah kembali di sekolah lamanya. Saya mengurus sendiri surat-surat pindahnya dengan sibuk mondar-mandir ke Diknas, sampai melobi sang pemilik sekolah untuk minta keringanan harga (dan berhasil!). Sedangkan Kk Rasyad tidak berhasil saya masukkan ke TK karena sudah terlambat. Akhirnya Kk Rasyad saya masukkan sekolah yang setara playgrup di dekat rumah sambil menunggu tahun ajaran baru untuk masuk TK yang sama dengan Aa Dilshad dulu. Sedangkan untuk jenjang pendidikan selanjutnya, kami sudah mempunyai rencana akan bersekolah dimana anak-anak kami ini nantinya.Langkah kedua menata masa depan: memperbaiki rumah.
Senangnya bisa tinggal di rumah sendiri. Tidak jadi kontraktor lagi alias pengontrak rumah. Ditambah adanya anggota keluarga baru, yaitu Eyang (ibu saya) dan Umi (asisten rumah tangga) tentu membuat suasana rumah semakin meriah. Saya dan Bapa membuat rencana perbaikan rumah. Kami juga memutuskan untuk mengontrak rumah tetangga sebelah supaya kami sekeluarga bisa tinggal dengan nyaman.Tentang rumah, liputan lengkapnya ada disini.Langkah ketiga menata masa depan: membuka usaha sendiri.
Sesuai dengan cita-cita suami tercinta, kami memutuskan untuk membuka toko obat. Alhamdulillah, setelah lama berjuang mencari lokasi, kami bisa menyewa toko di depan komplek dekat rumah. Jadi saya bisa bolak-balik dari toko ke rumah dengan jarak yang tidak terlalu jauh. Tentang toko obat, ada ceritanya disini.Langkah keempat menata masa depan: merawat orangtua.
Saat masih tinggal di rantau, sedih rasanya apabila mendengar kabar salah satu dari orangtua kami tiba-tiba kesehatannya menurun bahkan harus dirawat di rumah sakit. Sebagai anak, saya dan suami hanya bisa mmengirimkan doa dan memberi dukungan semangat dari jauh. Sekarang, Eyang sudah tinggal serumah dengan kami. Sedangkan Kakek tinggal masih di kota yang sama dan kami rutin menjenguknya seminggu sekali. Sayang, kami tidak sempat merawat Nenek karena beliau dipanggil Yang Maha Kuasa karena sudah tidak kuat lagi menahan rasa sakitnya.Langkah kelima menata masa depan: memperluas silaturahmi.
Pengalaman pribadi saat masih tinggal di Solo, saat itu kami sudah punya banyak teman dan mengenal baik warga di sekitar tempat tinggal, tapi yah pada akhirnya harus terpisah dan komunikasi terputus. Seandainya punya bisinis atau usaha sampingan di rantau, sudah pasti tidak akan bertahan lama karena harus pindah rumah. Sayang kan sudah capek-capek merintis dan harus berhenti sebelum usahanya berkembang. Nah setelah buka toko obat, demi kelancaran usaha, tentu harus banyak menjalin relasi kan. Alhamdulillah, toko obat jadi lebih berkembang seiring dengan banyaknya kenalan. Jenis pelayanan delivery obat (setelah memesan via sms) sampai sekarang pelanggannya adalah tetangga satu RT. Mudah-mudahan dengan banyaknya kenalan, pelanggan kami bisa lebih bertambah, aamiin.
Kami
memang bukan pendatang lagi. Identitas kami sekarang jelas, penduduk asli.
Rasanya lebih tenang. Tidak perlu deg-degan seperti saat tinggal di propinsi
yang pernah terjadi konflik. Tidak perlu takut ada penggeledahan apakah kami
punya surat keterangan ijin tinggal dari RT setempat. Tidak lagi merasa sebagai
warga minoritas yang harus berhati-hati jika ingin berinteraksi dengan
masyarakat sekitar. Disini, kami adalah penduduk asli dan memiliki kesamaan
budaya. Jadi, yah lebih santai rasanya…
Semangat!
Rasanya masa depan yang cerah sedang menanti bagi kami sekeluarga. Hidup di rantau memang berbeda dengan hidup menetap. Masa-masa bahagia berpetualang menjelajah kampung orang lain sudah berakhir. Saatnya kembali ke kampung halaman. Mudah-mudahan bila diberi umur panjang, kami diberi kesempatan untuk melakukan petualangan napak tilas ke tempat-tempat eksotis yang sudah pernah kami kunjungi kelak.
Jujur, saya pasti merindukan kehidupan riweuh di tanah rantau. Tidak ada lagi mengepak barang sampai 30 koli. Tidak ada lagi tetangga dengan logat bicara yang unik. Tidak ada lagi tempat wisata eksotis. Dan yang paling berkesan -teguk ludah- tidak ada lagi makanan khas daerah yang lezat.
Foto di atas adalah ketika kami sedang berada di Bandara Sultan Hasanuddin Makassar, saat kami akan berangkat menuju kampung halaman. Lihat! Matahari terbit! Sinarnya hangat menyeruak dinginnya pagi. Seolah menyiratkan harapan untuk hidup di masa depan yang lebih baik. Cerahnya sinar mentari pagi ini semoga secerah masa depan kami sekeluarga kelak.. aamiin.
Semangat!
Rasanya masa depan yang cerah sedang menanti bagi kami sekeluarga. Hidup di rantau memang berbeda dengan hidup menetap. Masa-masa bahagia berpetualang menjelajah kampung orang lain sudah berakhir. Saatnya kembali ke kampung halaman. Mudah-mudahan bila diberi umur panjang, kami diberi kesempatan untuk melakukan petualangan napak tilas ke tempat-tempat eksotis yang sudah pernah kami kunjungi kelak.
Jujur, saya pasti merindukan kehidupan riweuh di tanah rantau. Tidak ada lagi mengepak barang sampai 30 koli. Tidak ada lagi tetangga dengan logat bicara yang unik. Tidak ada lagi tempat wisata eksotis. Dan yang paling berkesan -teguk ludah- tidak ada lagi makanan khas daerah yang lezat.
Mentari pagi, harapan baru masa depan |
Foto di atas adalah ketika kami sedang berada di Bandara Sultan Hasanuddin Makassar, saat kami akan berangkat menuju kampung halaman. Lihat! Matahari terbit! Sinarnya hangat menyeruak dinginnya pagi. Seolah menyiratkan harapan untuk hidup di masa depan yang lebih baik. Cerahnya sinar mentari pagi ini semoga secerah masa depan kami sekeluarga kelak.. aamiin.
Welcome home....
BalasHapusBagaimanapun memang lebih nyaman di kampung halaman ya mbak...
Semoga Toko Obatnya makin laris...
Makasih mba niken :) there's no place like home deh rasanya... aamiin makasih jg sudah mendoakan :)
HapusKomentar ini telah dihapus oleh administrator blog.
BalasHapustengkiyuuu mak lusi :)
HapusKomentar Mak Lusi:
HapusSemoga berhasil dengan langkah2 hebatnya mak. Cemunguuuud!
Makassar nya dimana mak? saya juga dulu pernah tinggal lama di Makassar
BalasHapusrumahku dulu di pinggiran kota mom rahmi aziza :) ..tepatnya di jl perintis kemerdekaan dekat kawasan industri kima. berapa lama tinggal di makassar? sayang sy cm cm setahun disana, belum puas menjelajah makassar jadinya :(
BalasHapussemoga sukses toko obatnya ya :)
BalasHapusaamiin tengkiyu ya mom :)
BalasHapus