Halo semua! Maaf ya, lama tidak ada update blog. Sebenarnya, draft postingan sudah mengantri di kepala. Apa daya selalu ada kendala untuk bisa menulis dengan tenang. Late post kali ini saya mau cerita tentang tempat bermain saya sewaktu masih anak-anak. Tempat di mana saya mengabiskan lima belas tahun pertama dalam hidup. Tempat saya dibesarkan dan menghabiskan masa kecil dulu. Yes, this used to be my playground. Mau tahu lokasinya?
Dulu, saya dan orangtua beserta kakak dan adik tinggal di sebuah kota kecil yang baru terkenal sejak ada jalan tol. Tepatnya di Kecamatan Cikampek Kabupaten Karawang Propinsi Jawa Barat. Lebih spesifik lagi yaitu di kawasan industri PT Pupuk Kujang Cikampek. Selengkapnya tentang PT Pupuk Kujang Cikampek bisa dibaca di www.pupuk-kujang.co.id.
Masuk ke kawasan yang terdiri dari beberapa pabrik, perkantoran, rumah sakit, perumahan, sekolah, lapangan golf, lapangan bola, dan kolam renang ini tidak bisa sembarangan. Masih seperti dulu, tamu atau pendatang wajib lapor pada satpam di depan pintu gerbang kawasan dan meninggalkan KTP atau SIM. Khusus untuk warga dan karyawan yang bekerja tentu saja bisa masuk karena sudah dikenali oleh satpam penjaga. Saya pun dulu bisa bebas keluar masuk dengan absen tampang doang, hehe.
Sudah lama saya tidak menginjakkan kaki ke tempat ini. Tepatnya, sejak saya menikah lalu pindah ke Semarang dan Aki (ayah saya) pensiun. Penasaran banget, seperti apa suasana komplek Pupuk Kujang (selanjutnya saya sebut komplek) setelah empat belas tahun. Empat belas tahun saya menunggu kamu...eh salah adegan, itu mah AADC2 yak.
Sebenarnya bisa aja saya kukurilingan bernostalgia ke dalam komplek waktu acara reuni teman-teman SMP tahun kemarin. Sayang, rombongan dari Bandung sudah ngider duluan begitu tiba di Cikampek. Yah, nggak kompak. Padahal saya pengen banget memamerkan tempat masa kecil saya pada 3 boyz. Apa daya hasrat terpaksa ditunda.
Akhirnya, tiba juga saat yang dinantikan. Ketika menjenguk Aki di Cikampek pada tanggal 14 Oktober 2015, saya ngebet ngajak masuk ke komplek. Tanda pengenalnya? Nggak perlu nitipin KTP seperti pengunjung lainnya. Cukup bawa Aki saja para satpam pasti langsung membuka pintu begitu melihat beliau. Kalau nggak sama Aki, memang wajah saya tidak dikenali? Ya enggak lah. Pan satpamnya juga udah ganti. Mana kenal sama wajah saya. Kecuali kalau saya itu artis *uhuk*
Di komplek Pupuk Kujang, karyawan diberi tempat tinggal sesuai dengan tingkat jabatannya. Keluarga saya menempati tiga rumah yang berbeda. Pertama di blok D, kedua di blok C, lalu terakhir di blok B. Tempat pertama yang kami datangi adalah rumah ketiga yang beralamat di blok B nomor 10. Rumah itu sekarang jadi begini...
Rumah No. B-10 |
Bentuk rumah tetap sama seperti dulu. Sedikit terlihat gersang karena pohon mangga di halaman rumah sudah dipangkas. Pada halaman belakang juga tidak banyak aneka tanaman berwarna-warni. Mungkin pemiliknya tidak terlalu menyukai tanaman seperti orang tua saya. Dulu, di rumah saya pasti ada aneka bunga berwarna-warni. Setiap sore selalu disiram dan ada tukang kebun khusus yang merapikan taman secara berkala,
Saya memang tidak terlalu lama tinggal di rumah No. B-10 ini. Kalau tidak salah, cuma semasa SMP saja. Kemudian saya tinggal bersama Almarhum Embah (nenek saya) untuk melanjutkan SMA di Jakarta. Lulus SMA, saya kuliah dan tinggal di Bandung. Rumah B-10 jadi tempat pulang kalau saya sedang liburan atau pas lagi nggak punya duit, hehe.
Oia, semua rumah di komplek memang tidak memiliki pagar. Cukup pagar tanaman saja. Insya Allah aman karena selalu ada satpam yang berpatroli. Lingkungan tertutup ini juga tidak sembarangan mengijinkan pedagang keliling berjualan. Jaman saya dulu cuma ada dua mamang bakso, satu mamang mie ayam, dan satu mamang bala-bala. Lainnya ada mamang bubur lemu, terus apa lagi ya.... lupa. Para mamang tersebut ada yang sudah almarhum dan ada juga yang makin sukses dengan jualannya dengan membuka tempat makan sendiri. Hebat ya!
Lanjut jalan lagi, yuk! Tujuan berikutnya ke blok C. Mau lihat rumah paling berkesan dalam hidup saya, yaitu rumah nomor C-62. Di rumah inilah masa kecil saya tersimpan. Saya pindah ke rumah ini kalau tidak salah waktu masih TK. Saya bahkan ingat momen pindahan dari rumah sebelumnya dengan mobil bak terbuka. Ini adalah rumah kedua di komplek. Rumah pertama tidak sempat saya foto karena sibuk makan di tempat jajan, hehe.
Saya memang tidak terlalu lama tinggal di rumah No. B-10 ini. Kalau tidak salah, cuma semasa SMP saja. Kemudian saya tinggal bersama Almarhum Embah (nenek saya) untuk melanjutkan SMA di Jakarta. Lulus SMA, saya kuliah dan tinggal di Bandung. Rumah B-10 jadi tempat pulang kalau saya sedang liburan atau pas lagi nggak punya duit, hehe.
Oia, semua rumah di komplek memang tidak memiliki pagar. Cukup pagar tanaman saja. Insya Allah aman karena selalu ada satpam yang berpatroli. Lingkungan tertutup ini juga tidak sembarangan mengijinkan pedagang keliling berjualan. Jaman saya dulu cuma ada dua mamang bakso, satu mamang mie ayam, dan satu mamang bala-bala. Lainnya ada mamang bubur lemu, terus apa lagi ya.... lupa. Para mamang tersebut ada yang sudah almarhum dan ada juga yang makin sukses dengan jualannya dengan membuka tempat makan sendiri. Hebat ya!
Lanjut jalan lagi, yuk! Tujuan berikutnya ke blok C. Mau lihat rumah paling berkesan dalam hidup saya, yaitu rumah nomor C-62. Di rumah inilah masa kecil saya tersimpan. Saya pindah ke rumah ini kalau tidak salah waktu masih TK. Saya bahkan ingat momen pindahan dari rumah sebelumnya dengan mobil bak terbuka. Ini adalah rumah kedua di komplek. Rumah pertama tidak sempat saya foto karena sibuk makan di tempat jajan, hehe.
Rumah No.C-62 |
Rumah C-62 terletak paling ujung dari kawasan perumahan blok type C. Jalan paling jauh dan harus melewati turunan yang cukup curam. Turunan ini lumayan bikin bete almarhum Mang Uci, mamang penjual bala-bala, untuk turun ke bawah saat saya panggil. Turunan ini juga kerap memakan korban anak-anak yang bersepeda (termasuk saya). Kalau terlambat berbelok setelah turunan, dijamin nyungsep di got atau justru bablas jatuh ke rerumputan di ujung jalan.
Di belakang rumah adalah hutan jati. Sesekali ada penduduk setempat yang numpang lewat karena dari hutan tersebut bisa tembus ke perkampungan (yang sekarang lokasinya ada di seberang jalan tol). Dulu juga masih banyak penduduk yang mencari kayu bakar di hutan dan menggembala sapi atau kambingnya di rerumputan di bawah pohon jati.
Tinggal di rumah dekat hutan, jangan tanya berbagai macam hewan yang kerap mampir ke rumah saya. Keluarga saya sudah sering didatangi ular. Bahkan saya punya kenangan saling berpandangan dengan seekor ular dari balik jendela. Takut? Nggak juga. Mungkin karena sudah biasa bertemu ular beneran, ular lewat, ular mati, selongsong kulit ular... jadi saya malah nggak parno-parno amat sama yang namanya ular.
Main di hutan juga jadi kegemaran saya. Pikir-pikir, bahaya juga ya anak kecil main sendirian ke hutan. Kalau ada orang jahat atau binatang buas bagaimana? Tentang binatang buas, kapan-kapan saya ceritain tentang suara harimau yang saya dengar saat main ke hutan berdua dengan teman. Yah begitulah. Kata orangtua jaman dulu, anak kecil itu selalu ada 'pelindungnya' agar terhindar dari bahaya disekitarnya. Jadi, saya tidak mengalami musibah saat bermain di hutan waktu itu karena masih dilindungi oleh Allah SWT. Alhamdulillah...
Selain main di hutan, ada lagi permainan yang mengundang bahaya yang saya dan teman-teman lakukan dulu. Apa itu? Naik menara mesjid! Kok bisa? Jadi begini ceritanya. Suatu hari saya yang suka iseng kukurilingan ini melihat pintu menara mesjid tidak terkunci. Iseng masuk, saya tidak berani memanjat tangga menara sendirian.
Keesokan harinya, saya mengajak sahabat saya, Novi, untuk naik menara bareng. Saya pikir, kalau berdua pasti kita bisa saling menolong. Jika terjadi sesuatu, salah satu dari kami bisa segera pergi meminta pertolongan. Novi adalah teman satu geng pemanjat pohon kersen. Jadi, soal memanjat, kami sudah jago lah yaw. Sekali-kali mau mencoba memanjat selain pohon. Manjat genteng sudah. Manjat menara? Ayo, pasti bisa!
Selain main di hutan, ada lagi permainan yang mengundang bahaya yang saya dan teman-teman lakukan dulu. Apa itu? Naik menara mesjid! Kok bisa? Jadi begini ceritanya. Suatu hari saya yang suka iseng kukurilingan ini melihat pintu menara mesjid tidak terkunci. Iseng masuk, saya tidak berani memanjat tangga menara sendirian.
Keesokan harinya, saya mengajak sahabat saya, Novi, untuk naik menara bareng. Saya pikir, kalau berdua pasti kita bisa saling menolong. Jika terjadi sesuatu, salah satu dari kami bisa segera pergi meminta pertolongan. Novi adalah teman satu geng pemanjat pohon kersen. Jadi, soal memanjat, kami sudah jago lah yaw. Sekali-kali mau mencoba memanjat selain pohon. Manjat genteng sudah. Manjat menara? Ayo, pasti bisa!
Untunglah tidak terjadi apa-apa saat kami berdua memanjat tangga menara untuk pertama kalinya tersebut. Perjuangan naik ke atas menara ini tidak mudah, lho! Menara ini (mungkin) tingginya sekitar 20 meter. Ada tangga besi yang tertanam di sisi tembok menara. Terdiri dari empat lantai. Setiap berpindah lantai, posisi tangga juga berubah pada dinding sebaliknya. Maksudnya begini, jika di lantai satu posisi tangga ada di tembok sebelah kanan, maka di lantai dua posisi tangga ada di sebelah kiri, dan seterusnya. Menurut saya sih, posisi yang bergantian itu untuk mencagah jika terjadi kecelakaan (jatuh dari tangga), ada lantai penyangga untuk keamanan. Hii, jangan sampe deh...
Menara mesjid |
Menara ini terlatak di halaman mesjid Nahrul Hayat yang berada di tengah komplek. Mesjid ini menjadi tempat saya dan Bapa menikah. Tempat shalat di mesjid ini sekarang sudah pakai AC lho! Wah, adem bener! Boyz sempat gugulingan di karpetnya yang empuk sambil beristirahat. Beberapa perubahan tentu saja ada. Namun bentuk bangunan tetap seperti dulu. Tanpa kubah. Ya, mesjid ini memang tidak mempunyai kubah.
Menara mesjid berfungsi untuk menaruh speaker di tempat yang lebih tinggi. Kalau jaman dahulu harus memanjat menara dulu untuk mengumandangkan adzan. Sakarang tidak perlu repot. Cukup taruh speakernya saja di atas menara mesjid. Suara adzan bisa didengar luas di penjuru komplek.
Pemandangan komplek dari atas menara sungguh luar biasa! Masya Allah, indahnya! Saya yang belum pernah naik gunung begitu takjub dengan pemandangan dari ketinggian tersebut. Itulah yang membuat saya selalu ketagihan ingin kembali naik ke atas menara dan mengagumi keindahan alam.
Paling menggemparkan adalah ketika waktu adzan tiba dan kami sedang ada di atas menara! Suaranya yang sangat keras membuat kami harus menutup kuping rapat-rapat. Menara seolah berguncang bak kena gempa bumi. Saya dan Novi hanya bisa menjerit sambil tiarap di lantai sampai adzan selesai. AAAA...
Bayangkan kami ada di atas... |
Suatu sore, saya and the gank kompakan membolos dari kegiatan Pramuka dan malah bermain di menara mesjid. Ketika barisan Pramuka lewat, kami sempat mengerjai mereka dari atas mesjid, haha. Bandel ih!
Kesenangan kami harus berakhir. Marbot masjid memergoki kami sedang bermain di atas menara. Keesokan harinya, pintu menara dikunci. Saat itu saya kecewa tapi bisa memaklumi alasan marbot mesjid mengunci pintu manara. Bayangkan betapa bahayanya jika anak-anak dibiarkan bermain di menara ini. Untunglah kami keburu ketahuan ya.
Oia, sebelum mampir ke mesjid. Kami sempat menikmati jajanan di depan bekas SD. SD yang baru sudah pindah tempat saat saya kelas 5. Bangunan SD lama digunakan sebagai kantor dan kios. Dulu sih ada perpustakaan yang dikelola oleh Dharna Wanita. Entah sekarang masih ada atau tidak.
Di belakang bangunan SD lama ada TK tempat saya bersekolah. Sekolah TK yang baru juga sudah pindah dan berada satu lokasi dengan SD dan SMP. Sayang, hasil foto sekolah tersebut kurang bagus karena terhalang oleh pepohonan.
TK tempat saya bersekolah |
Tempat bermain |
Baca: Menikmati Aneka Pepes di Tepi Bendungan Walahar
Hari sudah semakin sore. Kami harus segera kembali ke Bogor. Sebelum mengantar Aki pulang, kami melewati helipad di sebelah gedung perkantoran. Lahan luas di sekitar helipad kini disulap jadi taman bermain. Kalau taman bermain ini ada sejak dulu, kayaknya saya malas main kesini karena lokasinya yang agak jauh dari rumah dan harus melewati tanjakan yang cukup curam. Jaman dulu kan masih pada jalan kaki dan naik sepeda. Kalau anak jaman sekarang mah bisa diantar oleh motor atau pakai mobil dinas.
Taman bermain di sebelah helipad |
Sampai di sini dulu ya, cerita jalan-jalan yang terlambat dipublish. Maklum, menulis ini ada unsur sentimentilnya. Perlu kekuatan mental, haha. Ini juga sengaja nggak semua saya tulis. Cerita masa kecil saya terlalu panjang. Nanti bosen bacanya, hehe.
Saya, Kk, Dd, dan Aki |
Mengenang masa kecil memang menyenangkan. Mengunjungi tempat dimana kita dibesarkan, ada luapan aneka perasaan karena teringat semua kenangan masa lalu. Menunjukkan pada anak-anak tempat saya dibesarkan, membuat saya bahagia bisa berbagi kenangan bersama. Mereka bisa membayangkan seperti apa masa kecil saya dulu yang sebelumnya hanya berupa cerita sebelum tidur.
This used to be my playground
This used to be my childhood dream
This used to be the place I ran to
Whenever I was in need of a friend
Why did it have to end?
And why do they always say?
Don't look back
Keep your head held high
Don't ask them why because
life is short
And before you know
you're feeling old and your heart is breaking
Don't hold on to the past
Well that's too much to ask.
(This used to be my playground by Madonna)
Kecerian masa kecil akan terkenang sepanjang masa |
Asyik juga ya sesekali napak tilas gini bawa anak2 biar tau masa lalu emaknya dlu kaya gmn ;)
BalasHapusiya mak. seru plus haru lho :)
Hapusfamilair banget aku sama kawasan ini :)
BalasHapushihihi pastinya :D
Hapusmau ketemuan di sana ga sempet aja kita ya mak
bernostalgia ya mba... hehe rumahnya luas ya... kalo saya justru kalo lingkungan aman, lebih suka rumah yg tak berpagar
BalasHapusga berpagar sebenernya enak kok. rumahku aja skr ga pake pagar krna pagarnya keburu rubuh n males pasang lagi :D
HapusWalau hanya sebentar, yang namanya tempat masa kecil selalu punya kenangan khusus ya :)
BalasHapusbetul makpuh :')
HapusSentimentil jadinya kalau mengingat hal-hal yang pernah dilakukan atau temapt masa kecil,
BalasHapusnapak tilasnya berkesan banget kayaknya mak...
BalasHapusmasa kecil takkan terulang selalu terkenang
mirip tempat merantau ku dulu sewaktu masih di jatitujuh majalengka, persis kaya gitu
BalasHapusMbak, daerah masa kecilnya kayaknya nyaman banget, ya
BalasHapusNggak terasa yah kemarin manggil ibu sekarang udah jadi ibu.
BalasHapuswaaahhhh touring kenangan yah,kak.... saya mw mulai tandain de kenangan-kenangan saya sebelum sirna hihihiih
BalasHapusAsik ya mengenang masa kecil di tempatnya.
BalasHapusSetuju mba, mengenang masa kecil itu mwnyenangkan..kalo ke kampung halaman semua ingata ttg masa kecil pasti timbul
BalasHapusSekarang playground dekat helipad sudah ditiadakan karena sering disalahgunakan remaja luar komplek utk pacaran. Selain itu kawasan sekitar menjadi kumuh dengan adanya plyaground itu. Sejak pergantian dirut,semua mainan itu dimusnahkan.
BalasHapuswah alhamdulillah. keputusan yg bijak.
Hapuswaktu ke sana memang sempat kesal dgn ulah sepasang remaja yg tidak mau menyingkir duduk berdua di ujung perosotan. sudah dipelototi terus saja asyik pacaran.
dari awal saya tidak sreg dgn playground yg letaknya di helipad. seharusnya jika itu untuk warga, letaknya ada di tengah komplek.
Mang uci Bala Bala mang udin bakso mang Ali mie ayam hahahaha
BalasHapus