Saat mendarat di Bandara Tjilik Riwut ditengah kabut asap |
Akhir bulan September 2010, saya lupa tanggal berapa, adalah tepat 1 tahun kami menginjakkan kaki di bumi Kalimantan ini, tepatnya di kota Palangkaraya. Diawali di pagi yang dingin, kami berempat, saya, suami, anak kami Dilshad (belum genap 7 th) dan Rasyad (2,5 th), berangkat dari rumah kami di Cibinong menuju bandara Soekarno Hatta.Beberapa tetangga sekitar rumah juga keluar untuk menyalami dan melepas keberangkatan kami dengan taxi subuh itu.
Di bandara kami lalu sarapan sambil menunggu. Namun, saat itu tengah kemarau dan sedang ada kebakaran hutan di beberapa wilayah di Kalimantan. Keberangkatan kami pun di delay sampai 2 kali. Walau dapat kue lalu diberi makan siang gratis selama menunggu, tetap saja kesal berlama-lama di bandara. 8 jam di bandara! Apalagi dgn 2 anak kecil yang mulai terlihat bosan dan letih.Untungnya mereka mau disuruh tidur di kursi ruang tunggu bandara. Saat itu saya belum punya akun facebook, jadi ya hanya bengong saja sambil mengawasi anak2.
Tibalah saatnya berangkat! Tak sabar diri ini ingin melihat kembali tanah Kalimantan yg pernah menjadi rumah kami 7 tahun silam. Ya, kami pernah tinggal di Banjarmasin walaupun tidak lama karena suami dipindah tugas ke Solo.Haru biru rasanya! Tidak menyangka kalau kami akan kembali lagi ke sini. Mungkin benar kata orang, kalau seseorang sudah meminum air sungai Kapuas, maka ia akan akan kembali lagi ke tanah Kalimantan. Well, here we are now!
Sampai juga! Bandara Tjilik Riwut diselimuti kabut asap menyambut kedatangan kami. Udara panas pun menyergap. Anaku Dilshad langsung mimisan saat kami menunggu barang. Beberapa penumpang dan petugas bandara membantu memberikan tisu dan bersimpati. Ah kalau di Jakarta, ibu saya jatuh pun tidak ada yg menolong! Ini bedanya di ibukota dan di daerah, disini orang masih peduli satu sama lain.
Palangkaraya, heart of Kalimantan. Ibukota provinsi Kalimantan Tengah ini terletak di tengah hutan. Suplai kebutuhan hidup dikirim dari kota Banjarmasin dan Sampit, keduanya sama2 berjaraktempuh 4 jam perjalanan dari Palangkaraya. Kedua kota tsb adalah kota pelabuhan. Hampir semuanya dikirim dari pulau Jawa dgn kapal laut.Jadi, dengan kata lain, sangatlah wajar bila harga barang, sembako, sayuran dsb disini lebih mahal.
Kota ini belum padat penduduknya. Jalanan sepi, no macet, kemana-mana ga pake lama. Masih banyak lahan kosong. Bahkan banyak yang masih berupa lahan hutan gambut yang luas. Masih banyak yang belum tersentuh pembangunan. Tak heran kalau kota Palangkaraya dinominasikan untuk menjadi ibukota negara kita, Jakarta sudah terlalu padat dan alternative untuk pindah tengah kesini mungkin saja terealisasi.
Kembali ke kabut asap. Kebakaran hutan gambut di sekitar Kalimantan menimbulkan kabut asap. Tidak hanya asap, pertikel kecil sisa pembakaran dan debu juga ikut beterbangan. Jarak pandang jelas terganggu. Bahkan papan indikator polusi udara di tengah kota menunjukkan level ‘berbahaya’ dgn grafik warna merahnya. Pagi hari kabut terlihat tebal, agak siang setelah matahari mulai tinggi barulah kabut itu menipis. Itulah sebabnya kami menunggu lama di bandara, menunggu matahari terik.
Tiba di rumah. Rumah dinas ini berukuran sangat besar menurut kami. Maklum, kami terbiasa tinggal di rumah sendiri yang berukuran 4L (Lu Lagi Lu Lagi). Awalnya saya dan anak2 cukup grogi juga dgn rumah sebesar ini. Lama2 terbiasa dan bersyukur, anak2 tak perlu lagi main di luar atau di jalan. Di dalam rumah juga bisa main bola dgn leluasa.
Hari-hari awal kami beraktivitas dalam suasana berasap. Saya dan anak2 lebih sering sembunyi di dalam rumah saja. Warga yang ke luar rumah mengenakan masker. Bahkan saya pun memakai masker saat menjemur pakaian. Tapi Dilshad tidak mau memakai maskernya saat ke sekolah, mungkin risih. Untungnya kami tidak lama-lama ‘diasapi’. Hujan pun turun. Makin banyak intensitas hujan, kabut pun akhirnya lenyap. Saya pun bersyukur tahun ini kabut asap tidak terjadi karena kemarau sekarang cukup banyak turun hujannya.
Mengalami culture shock, saya sudah biasa bila datang ke tempat yang baru. Tapi kali ini shock alias kagetnya rame2, karna si sulung Dilshad sudah mengerti. Ia pun harus beradaptasi dgn teman-teman di sekolah barunya. Untunglah tidak lama.Kini Dilshad bahkan sudah berbicara bahasa banjar dan mengajarkannya pada ibu dan adiknya. Anaku yang satu ini memang anak banjar tulen! Mentang2 dulu lahir di Banjarmasin, kini sudah berlogat banjar dan menggemari masakan banjar pula. Teringat saat kami main ke Banjarmasin untuk pertama kalinya setelah 7 tahun. Dilshad berbinar-binar melihat kota kelahirannya itu.
Hidup di kota ini memang tidak mudah. Banyak pekerja yg merantau kesini dengan tidak membawa serta keluarganya. Kondisi yang serba terbatas dan mahal membuat mereka tidak mau membawa anak istrinya turut ‘menderita’ disini. Kalau saya sih, justru saya yang akan menderita kalau tidak ikut suami berkelana. Jadi kemanapun suami ditempatkan, saya akan selalu ikut, tak peduli walau kini makin repot karna jumlah anak yang bertambah. Yang penting kami selalu bersama-sama. Pernah tinggal di Semarang, Banjarmasin, Solo, Denpasar, Bogor, dan kini Palangkarayalah yang menjadi rumah kami.
Tidak terasa sudah setahun kami tinggal disini. Mendampingi bapaknya anak2 mencari nafkah di daerah sungguh sarat suka dan duka. Sukanya adalah bisa melihat tempat2 yg baru, bertemu orang2 baru dg keunikan budayanya, suasana baru, juga mencoba kuliner setempat. Dukanya? Ya jauh dari sanak saudara, sebatangkara di rantau, juga kalau ketemu dgn budaya setempat yg mungkin kurang sreg di hati kami. Tapi yang paling menyenangkan adalah menikmati hidup dengan santai! Kalau di daerah, kantor bapaknya ga pernah jauh2 dari rumah. Jadi bisa pulang makan siang dan pulang pergi ke kantor dg cepat. Lalu lintas yg lengang,lancer tanpa macet. No polusi sudah pasti. Dulu sebelum hamil, saya suka membawa anak2 ke kantor bapaknya. Cukup dgn berjalan kaki! Coba kalau masih kerja di Jakarta, mana bisa seperti ini?
Banyak hal yang mengagetkan selama hidup di Palangkaraya. Kaget soal pemenuhan kebutuhan hidup yang barangnya habis jalan2 jauh itu. Kaget soal pergaulan disini yang hanya open thd komunitasnya sendiri. Kaget karena tempat wisata yang sedikit. Kaget soal kuliner yang kurang cocok di lidah. Sampai akhirnya kaget karna tiba2 diberi kejutan dengan hadirnya bayi mungil Irsyad nan imut ini. Jadi seandainya ada orang bertanya, apa yang sudah didapat selama merantau setahun di Palangkaraya? Bahkan sampai rela tidak mudik lebaran ke Bogor? Dapat apa? Segenggam intan? Segudang hasil hutan? Bukan, bukan....kami dapat satu anak dayak, Irsyad.
(diposting di facebook pada 01 Oktober 2010 jam 11:58)
(diposting di facebook pada 01 Oktober 2010 jam 11:58)
Posting Komentar