Sejak awal menikah di tahun 2002 dan menjalani kehidupan rumah tangga dengan sering berpindah tempat tinggal dari satu daerah ke daerah lain, saya dan Bapa menyadari bahwa keadaan ini tidak bisa berlangsung seterusnya. Kami masih punya tanggung jawab di kampung halaman, yaitu merawat orangtua.
Eyang (ibu saya) sudah berulangkali kami ajak untuk tinggal bersama di rantau. Namun beliau hanya singgah beberapa bulan saja. Padahal kami sudah mencarikan rumah dinas yang lebih besar, dengan harapan beliau mau untuk tinggal seterusnya bersama kami. Yah apa boleh buat, kami sudah berusaha namun beliau lebih merasa betah di kampung halaman.
Eyang (ibu saya) sudah berulangkali kami ajak untuk tinggal bersama di rantau. Namun beliau hanya singgah beberapa bulan saja. Padahal kami sudah mencarikan rumah dinas yang lebih besar, dengan harapan beliau mau untuk tinggal seterusnya bersama kami. Yah apa boleh buat, kami sudah berusaha namun beliau lebih merasa betah di kampung halaman.
Bukan hanya untuk merawat Eyang. Kakek dan Nenek (orangtua suami) juga perlu perhatian. Sama seperti Eyang yang kondisi kesehatannya kurang baik, Kakek dan Nenek juga punya penyakit berat. Meski berada jauh di rantau, komunikasi antara kami dan orangtua di kampung tidak pernah putus. Kabar yang kami terima seringkali membuat kami khawatir karena memikirkan kondisi kesehatan mereka. Sebagai anak, rasanya ingin kami ikut mengurus, apa daya kami terbentang jarak yang begitu jauh.
Memang betul kami tidak bisa selamanya hidup merantau. Anak sekarang sudah ada 3. Berulang kali kami harus menjalani repotnya mengurus surat pindahan sekolah anak. Kami juga merasa tidak tega pada anak kami, baru beradaptasi dengan sekolahnya eh sudah harus pindah sekolah lagi. Memang sih, anak kami yang sudah sekolah baru satu, Aa Dilshad. Tidak terbayang repotnya jika kelak ada tiga anak yang pindah sekolah.
Akhirnya, setelah hampir 10 tahun, tidak disangka keputusan untuk berhenti merantau harus terjadi. Kami memang akan kembali ke kampung halaman, tapi tidak secepat ini. Ada apa gerangan? Ada sesuatu yang terjadi pada anak sulung kami,Aa Dilshad. Saya sudah mengamati ada rasa ketidakbahagiaan di raut muka Aa. Setiap saya tanya, jawabannya "Ngga papa bu.." Namun insting saya sebagai seorang ibu mengatakan sebaliknya.
Saya tidak akan bercerita tentang beberapa kejadian tidak menyenangkan yang dialami Aa. Tidak enak. Yang jelas setelah kejadian itu saya langsung berpikir "Kita harus segera pergi dari sini! Kita harus pindah! Harus!"
Jujur, berat bagi saya untuk meninggalkan 'kesenangan' hidup merantau. Ini adalah zona nyaman saya. Saya sangat bahagia dan menikmati hidup bak keluarga gipsi ini. Namun yang paling penting dalam keluarga ini adalah anak-anak. Bila salah satu anak sudah merasa tidak nyaman dan tidak bahagia, apakah saya tega untuk terus tinggal disini? Setelah berdiskusi dengan Bapa, akhirnya kami sepakat memutuskan untuk kembali ke kampung halaman. Saya memikirkan keputusan ini sambil menangis, selamat tinggal hidup berkelana.
Keluarga besar di kampung halaman menyambut gembira keputusan kami. Mereka semua bersukacita dan mengucap syukur. Kami sekeluarga jadi tidak terpisahkan lautan lagi. Jadi kalau mau ketemu tidak usah menunggu saat Lebaran. Belum tentu juga setiap Lebaran kami bisa pulang. Beberapa kali Lebaran kami tidak bisa pulang : 2 kali Lebaran karena baru melahirkan (anak pertama dan ketiga) dan Lebaran satu lagi karena tidak punya ongkos mudik.
Persiapan sudah matang. Diputuskan saya dan anak-anak berangkat lebih dulu. Kami berangkat setelah Aa Ujian Akhir Semester (UAS). Tidak menunggu bagi raport karena saya harus mengurus surat pindah Aa sebelum semester baru dimulai. Sedangkan Bapa tetap tinggal di rantau sampai beberapa bulan ke depan kemudian, lalu mengajukan pengunduran diri untuk berhenti bekerja dari kantornya.
Saya berangkat ke bandara diantar Bapa. Saya hanya sendiri di bandara bersama 3 anak. Beruntung Aa Dilshad, Kk Rasyad dan Dd Irsyad tidak rewel dan merepotkan selama perjalanan. Sebelum boarding dan setelah landing di bandara, saya meminta Aa untuk selalu mengandeng adiknya karena saya mengendong Dd sambil membawa tas atau mendorong troli isi koper2 kami. Riweuh ya :)
Pesawat berangkat. Saya menahan tangis di pesawat. Suatu rutinitas setiap kali saya meninggalkan suatu daerah. Namun kali ini tangisan saya bermakna lain, barangkali inilah terakhir kalinya saya naik pesawat, karena kami tidak akan merantau lagi.
Posting Komentar