Foto dari sini |
Kilat berkelebat menyambar, lalu disusul gemuruh suara petir. Aa Dilshad mulai terlihat gelisah di dalam kamar rumah sakit. Saya sudah selesai membantu Eyang membereskan barang-barang. Hari ini, Eyang minta pindah kamar perawatan karena tidak suka dengan kamar yang berukuran sempit. Pindah kamar baru bisa dilakukan sore hari agar tidak kena biaya tambahan. Jika ingin pindah lebih cepat (pagi atau siang hari misalnya), bisa kena biaya satu hari. Itulah sebabnya kami menunggu sampai sore. Setelah selesai pindahan, saya dan Aa Dilshad (saya ajak ke rumah sakit setelah menjemputnya dari tempat les) bersiap hendak pulang ke rumah. Sayang, waktunya tanggung. Jika pulang pukul 5 sore, kami berdua pasti kemaghriban di jalan.
Aa sebelum berangkat. Foto nggak jelas, Aa nggak suka difoto sih :p |
"Kita maghrib di jalan aja, Bu." pinta Aa.
"Nggak! Kita tunggu maghrib dulu. Berhenti di jalan? Emangnya kita naik mobil sama Bapa! "
Aa terdiam mendengar saya bicara dengan nada kesal.
"Kita kan naik angkot, A. Kagok kalo berhenti di jalan buat shalat. Tunggu sebentar lagi. Habis shalat maghrib, kita langsung berangkat." seolah tersadar sudah berbicara dengan nada tidak enak, saya menjelaskan lagi dengan nada suara lebih rendah.
Aa terdiam mendengar saya bicara dengan nada kesal.
"Kita kan naik angkot, A. Kagok kalo berhenti di jalan buat shalat. Tunggu sebentar lagi. Habis shalat maghrib, kita langsung berangkat." seolah tersadar sudah berbicara dengan nada tidak enak, saya menjelaskan lagi dengan nada suara lebih rendah.
Tidak lama, adzan berkumandang. Aa langsung shalat maghrib. Sedangkan saya kebetulan sedang berhalangan. Setelah selesai shalat, kami berdua berpamitan meninggalkan Eyang di rumah sakit. Ya, Eyang sedang dirawat sejak tanggal 20 September kemarin. Kadar gulanya tinggi dan jantungnya berdetak lebih cepat. Di rumah sakit, Eyang harus beristirahat untuk menstabilkan kondisinya.
Sebenarnya, saya tidak tega meninggalkan Eyang sendirian. Saya tidak bisa menginap di rumah sakit. Bapa sedang dinas ke Menado lalu ke Gorontalo. Dd Irsyad sedang dalam masa pemulihan luka di kepalanya kerena jatuh. Kk Rasyad sedang ulangan harian dan butuh bimbingan saya saat belajar. Bersyukur kondisi Eyang masih sanggup berjalan sendiri ke kamar mandi. Suster jaga juga selalu sigap jika dipanggil. Sedikit lega, saya akhirnya pulang meninggalkan Eyang.
Gerimis tiba-tiba berubah menjadi hujan yang cukup lebat.Saya merapatkan tubuh di bawah payung sambil memeluk Aa. Sedikit kewalahan dengan tas besar yang saya bawa. Nampaknya percuma saja kami memakai payung. Hujan semakin deras disertai angin kencang Kami basah kuyup! Petir mulai menggelegar. Berkali-kali saya memeluk erat tubuh Aa. Duh, kenapa tidak ada angkot yang lewat?
"Aa takut, Bu! Kita balik lagi aja ke Eyang!" wajah Aa mulai terlihat cemas.
"Jangan, A! Kita nggak boleh mundur! Kita harus pulang! Ayo, kita berjuang untuk pulang!" jawab saya sambil menggenggam erat tangan Aa.
Saya mengumpulkan keberanian. Jujur, sebenarnya saya juga takut. Berada di jalanan di tengah cuaca seperti ini benar-benar bikin deg-degan! Sudah banyak kejadian mobil yang tertimpa batang pohon atau pohon yang tersambar petir di saat hujan angin seperti ini. Sementara kami, masih berdiri mamatung di pinggir jalan! Bayangan tersambar petir membuat saya bergidik. Menengadah ke langit, tampak petir masih menyambar dengan suaranya yang menakutkan.
Tidak ada angkot yang melintas di depan Rumah Sakit Azra. Kami sudah cukup lama menunggu dan menggigil kedinginan. Kendaraan umum lain, bis kecil miniarta, sudah melintas saat kami sedang berpaling mencari tempat yang lebih teduh. Saat bis lewat, Aa sempat menjerit panik, "Bis! Bis!" Kemudian kami pun pasrah.
Beberapa angkot yang melintas tidak mau berhenti.Rupanya mereka tidak menarik penumpang. Dalam cuaca seperti ini, mungkin mereka memilih untuk pulang saja. "Itu ada angkot!" Aa menarik saya menuju pom bensin. Ya, pom bensin! Angkot yang sedang mengisi bensin lebih mudah untuk dicegat!
"Maap, Bu...nggak narik!" sopir angkot menolak kami.
Saya menggandeng Aa ke angkot kedua yang juga sedang mengisi bensin. Sejenak kami merasa nyaman dengan teduhnya atap pom bensin. Tidak usah memegang payung erat-erat lagi. "Jambu dua?" tanya saya sambil naik ke atas angkot. Sejenak, sopir terlihat ragu, namun dia mengangguk. Alhamdulillah, kita dapat angkot, A!
Ahh...nyamannya setelah tegang di pinggir jalan tadi! Namun, perjalanan kami menuju rumah masih panjang. Masih harus menyambung naik angkot 08 di depan Mall Jambu Dua, lalu ganti naik angkot 32, kemudian naik ojek sampai ke rumah. Belum sampai di depan mall, sopir angkot tiba-tiba berkata, "Maap, Bu...sampai di sini aja. Saya mau muter lagi." Agak kesal, kami pun turun.
Byuuuurrr!!! Hujan deras kembali menyambut kami. Turun dari angkot sambil setengah berlari mencari tempat yang teduh. "Kita naik apa, A? Bis atau angkot? Kalo bis, kita tunggu di halte. Kalo angkot, kita jalan ke depan mall. Atau kita mau istirahat beli apa dulu sambil nunggu hujan?" saya tawarkan pilihan kepada Aa.
"Ke AA (nama kedai mi ayam di seberang mall) aja, Bu." saran Aa.
Kami kemudian berjalan dengan hati-hati melintasi air menggenang yang mengalir deras di pinggir jalan.Tiba-tiba, "Ada bis! Kita naik bis aja ya, A!" saya langsung menarik tangan Aa dan menuntunnya naik bis. Fiuuhh! Daripada harus jalan kaki dan lama menunggu angkot, mendingan naik bis!
Biasanya, semua kendaraan dari arah Bogor menuju Cibinong akan dialihkan ke jalan baru di perempatan lampu merah sebelum Talang. Tidak ada kendaraan yang boleh berjalan lurus, semua harus belok kiri, lalu memutar cukup jauh sampai rel kereta api, kembali ke jalan raya yang sama. Hanya kendaraan yang akan masuk pintu tol, yang akan belok ke kanan, yang boleh lewat. Kondisi hujan lebat hingga tidak ada polisi yang berjaga, maka bis kami nekad berjalan lurus! Horeee! Hemat waktu! Karena biasanya semua kendaraan yang memutar pasti terjebak macet.
Kami turun di Talang untuk naik angkot 32. Lega rasanya. Sebentar lagi sampai di rumah. Benarkah demikian? Ternyata tidak. Angkot kami mulai berjalan perlahan dan terbatuk-batuk. Sopir terlihat kewalahan mengemudikan angkot dalam kegelapan dan derasnya hujan. Ya, pemandangan di pinggir jalan nampak gelap. Mati lampu rupanya. Lama-lama, saya mulai deg-degan juga naik angkot ini.
TIba-tiba, angkot berhenti. Sang sopir menoleh ke belakang dan berkata, "Maap. Turun di sini aja. Saya nggak kuat bawa mobilnya. Nggak keliatan juga jalanannya. Saya nggak berani."
"Ini di mana?" tanya saya.
"Di pul, Bu." jawabnya.
Pul angkot? Pangkalan angkot di tempat sepi begini? Gila aja kita mau diturunin di sini! Saya tidak mau turun! Begitu pula dengan dua penumpang perempuan lainnya. Kami, tiga perempuan dan satu anak kecil menunggu angkot di tempat gelap di pinggir jalan? Tak usah, ya! Kami bergeming, suasana pun hening.
Melihat tidak ada reaksi dari penumpangnya, sopir kembali menjalankan angkotnya. Lebih perlahan dari sebelumnya. Para penumpang menghela napas dengan lega. Sayang, tidak lama kemudian, kira-kira setelah berjalan sejauh 200 meter. Sopir angkot benar-benar menurunkan kami di pinggir jalan.
Sambil menggerutu kesal, kami semua turun setelah membayar ongkos. Sopir langsung memutar angkotnya dan menghilang di kegelapan malam. Ini di mana, ya? Oh ya, saya tahu sekarang. Ini sih masih jauh dari rumah! Tapi mendingan deh, diturunin di sini. Ada warung dan cahaya terang dari pom bensin di seberang jalan. Daripada di pinggir jalan, di bawah pohon, dan di tempat sepi yang kami tidak jadi turun tadi.
Agak lama menunggu angkot. Hujan sudah tidak terlalu deras lagi. Saya mengajak Aa berteduh di depan toko yang sudah tutup. Saya teringat, di rumah lilin tinggal satu batang lagi. Apa bisa kita mampir sebentar ke minimarket untuk membeli lilin? Duh, malas harus jalan kaki lagi! Lagipula, kami yang sudah basah dan kedinginan ini mulai merasa lapar. "Langsung pulang aja, A? Nggak usah beli lilin?" Aa menggangguk.
Angkot datang dan kami segera naik. Perjalanan dilanjutkan dengan naik ojek dari depan komplek. Saya menutupi Aa dengan jas hujan si Mamang ojek. Saya sendiri tetap memegang payung. Motor ojek berjalan perlahan di tengah hujan lebat. Untunglah angin kencang sudah berhanti. Jika tidak, sudah pasti payung saya akan terbang tertiup angin!
Alhamdulillah, kami akhirnya sampai juga di rumah. Gelap dan hanya diterangi cahaya lilin. Pakai genset? Boro-boro genset, emergency lamp saja nggak punya, hehe. Lilin sisa satu batang yang belum terpakai. Dua batang lilin ukurannya sudah pendek, jadi dinyalakan bergantian jika ada yang ingin ke dapur atau ke kamar mandi. Aa punya lampu led meja belajar yang bisa diisi ulang baterainya. Sayang, lampunya sudah redup karena sering dipakai Dd Irsyad bermain. Demi menghemat cahaya yang ada, saya mandi memakai lampu dari handphone, dari aplikasi senter.
Lelah, setelah candle light dinner berdua Aa (ya iyalah, kan mati lampu), beres-beres sebentar, saya mengajak 3 boyz tidur lebih cepat. Bibik tidur di tengah rumah. Biasanya Bibik tidur di rumah Eyang. Karena Eyang tidak ada, dan Bapa sedang pergi, kami semua berkumpul di satu rumah. Saya dan 3 boyz juga tidur dalam satu kamar. Lilin sudah tinggal satu batang lagi. Lampu led yang sengaja tidak dipakai, akhirnya dinyalakan dan di taruh di atas lemari di ruang tengah. Tujuannya, agar cahaya redupnya bisa menyebar ke seluruh rumah. Entah pukul berapa listrik akhirnya menyala. Kami semua sudah terlelap.
Pelajaran untuk saya:
Tidak ada angkot yang melintas di depan Rumah Sakit Azra. Kami sudah cukup lama menunggu dan menggigil kedinginan. Kendaraan umum lain, bis kecil miniarta, sudah melintas saat kami sedang berpaling mencari tempat yang lebih teduh. Saat bis lewat, Aa sempat menjerit panik, "Bis! Bis!" Kemudian kami pun pasrah.
Beberapa angkot yang melintas tidak mau berhenti.Rupanya mereka tidak menarik penumpang. Dalam cuaca seperti ini, mungkin mereka memilih untuk pulang saja. "Itu ada angkot!" Aa menarik saya menuju pom bensin. Ya, pom bensin! Angkot yang sedang mengisi bensin lebih mudah untuk dicegat!
"Maap, Bu...nggak narik!" sopir angkot menolak kami.
Saya menggandeng Aa ke angkot kedua yang juga sedang mengisi bensin. Sejenak kami merasa nyaman dengan teduhnya atap pom bensin. Tidak usah memegang payung erat-erat lagi. "Jambu dua?" tanya saya sambil naik ke atas angkot. Sejenak, sopir terlihat ragu, namun dia mengangguk. Alhamdulillah, kita dapat angkot, A!
Ahh...nyamannya setelah tegang di pinggir jalan tadi! Namun, perjalanan kami menuju rumah masih panjang. Masih harus menyambung naik angkot 08 di depan Mall Jambu Dua, lalu ganti naik angkot 32, kemudian naik ojek sampai ke rumah. Belum sampai di depan mall, sopir angkot tiba-tiba berkata, "Maap, Bu...sampai di sini aja. Saya mau muter lagi." Agak kesal, kami pun turun.
Byuuuurrr!!! Hujan deras kembali menyambut kami. Turun dari angkot sambil setengah berlari mencari tempat yang teduh. "Kita naik apa, A? Bis atau angkot? Kalo bis, kita tunggu di halte. Kalo angkot, kita jalan ke depan mall. Atau kita mau istirahat beli apa dulu sambil nunggu hujan?" saya tawarkan pilihan kepada Aa.
"Ke AA (nama kedai mi ayam di seberang mall) aja, Bu." saran Aa.
Kami kemudian berjalan dengan hati-hati melintasi air menggenang yang mengalir deras di pinggir jalan.Tiba-tiba, "Ada bis! Kita naik bis aja ya, A!" saya langsung menarik tangan Aa dan menuntunnya naik bis. Fiuuhh! Daripada harus jalan kaki dan lama menunggu angkot, mendingan naik bis!
Biasanya, semua kendaraan dari arah Bogor menuju Cibinong akan dialihkan ke jalan baru di perempatan lampu merah sebelum Talang. Tidak ada kendaraan yang boleh berjalan lurus, semua harus belok kiri, lalu memutar cukup jauh sampai rel kereta api, kembali ke jalan raya yang sama. Hanya kendaraan yang akan masuk pintu tol, yang akan belok ke kanan, yang boleh lewat. Kondisi hujan lebat hingga tidak ada polisi yang berjaga, maka bis kami nekad berjalan lurus! Horeee! Hemat waktu! Karena biasanya semua kendaraan yang memutar pasti terjebak macet.
Kami turun di Talang untuk naik angkot 32. Lega rasanya. Sebentar lagi sampai di rumah. Benarkah demikian? Ternyata tidak. Angkot kami mulai berjalan perlahan dan terbatuk-batuk. Sopir terlihat kewalahan mengemudikan angkot dalam kegelapan dan derasnya hujan. Ya, pemandangan di pinggir jalan nampak gelap. Mati lampu rupanya. Lama-lama, saya mulai deg-degan juga naik angkot ini.
TIba-tiba, angkot berhenti. Sang sopir menoleh ke belakang dan berkata, "Maap. Turun di sini aja. Saya nggak kuat bawa mobilnya. Nggak keliatan juga jalanannya. Saya nggak berani."
"Ini di mana?" tanya saya.
"Di pul, Bu." jawabnya.
Pul angkot? Pangkalan angkot di tempat sepi begini? Gila aja kita mau diturunin di sini! Saya tidak mau turun! Begitu pula dengan dua penumpang perempuan lainnya. Kami, tiga perempuan dan satu anak kecil menunggu angkot di tempat gelap di pinggir jalan? Tak usah, ya! Kami bergeming, suasana pun hening.
Melihat tidak ada reaksi dari penumpangnya, sopir kembali menjalankan angkotnya. Lebih perlahan dari sebelumnya. Para penumpang menghela napas dengan lega. Sayang, tidak lama kemudian, kira-kira setelah berjalan sejauh 200 meter. Sopir angkot benar-benar menurunkan kami di pinggir jalan.
Sambil menggerutu kesal, kami semua turun setelah membayar ongkos. Sopir langsung memutar angkotnya dan menghilang di kegelapan malam. Ini di mana, ya? Oh ya, saya tahu sekarang. Ini sih masih jauh dari rumah! Tapi mendingan deh, diturunin di sini. Ada warung dan cahaya terang dari pom bensin di seberang jalan. Daripada di pinggir jalan, di bawah pohon, dan di tempat sepi yang kami tidak jadi turun tadi.
Agak lama menunggu angkot. Hujan sudah tidak terlalu deras lagi. Saya mengajak Aa berteduh di depan toko yang sudah tutup. Saya teringat, di rumah lilin tinggal satu batang lagi. Apa bisa kita mampir sebentar ke minimarket untuk membeli lilin? Duh, malas harus jalan kaki lagi! Lagipula, kami yang sudah basah dan kedinginan ini mulai merasa lapar. "Langsung pulang aja, A? Nggak usah beli lilin?" Aa menggangguk.
Angkot datang dan kami segera naik. Perjalanan dilanjutkan dengan naik ojek dari depan komplek. Saya menutupi Aa dengan jas hujan si Mamang ojek. Saya sendiri tetap memegang payung. Motor ojek berjalan perlahan di tengah hujan lebat. Untunglah angin kencang sudah berhanti. Jika tidak, sudah pasti payung saya akan terbang tertiup angin!
Alhamdulillah, kami akhirnya sampai juga di rumah. Gelap dan hanya diterangi cahaya lilin. Pakai genset? Boro-boro genset, emergency lamp saja nggak punya, hehe. Lilin sisa satu batang yang belum terpakai. Dua batang lilin ukurannya sudah pendek, jadi dinyalakan bergantian jika ada yang ingin ke dapur atau ke kamar mandi. Aa punya lampu led meja belajar yang bisa diisi ulang baterainya. Sayang, lampunya sudah redup karena sering dipakai Dd Irsyad bermain. Demi menghemat cahaya yang ada, saya mandi memakai lampu dari handphone, dari aplikasi senter.
Lelah, setelah candle light dinner berdua Aa (ya iyalah, kan mati lampu), beres-beres sebentar, saya mengajak 3 boyz tidur lebih cepat. Bibik tidur di tengah rumah. Biasanya Bibik tidur di rumah Eyang. Karena Eyang tidak ada, dan Bapa sedang pergi, kami semua berkumpul di satu rumah. Saya dan 3 boyz juga tidur dalam satu kamar. Lilin sudah tinggal satu batang lagi. Lampu led yang sengaja tidak dipakai, akhirnya dinyalakan dan di taruh di atas lemari di ruang tengah. Tujuannya, agar cahaya redupnya bisa menyebar ke seluruh rumah. Entah pukul berapa listrik akhirnya menyala. Kami semua sudah terlelap.
Pelajaran untuk saya:
- Jangan bepergian saat hujan lebat. Sangat berbahaya. Meski menggunakan mobil, bahaya tertimpa pohon atau rantingnya yang tersambar petir bikin ngeri. Apalagi pergi menggunakan angkot. Jika tidak karena terpaksa, saya tidak akan pergi menembus hujan deras :(
- Bawa jas hujan jika hendak bepergian naik angkot. Payung saja tidak cukup. Hujan yang disertai angin kencang membuat basah baju dan barang bawaan. Jika bepergian dengan motor, tentu jas hujan sudah menjadi kewajiban untuk dibawa dan ditaruh di bawah jok motor.
- Bawa minyak kayu putih jika bepergian membawa anak. Saya biasanya menyimpan di dalam tas. Kemarin kok lupa, ya. Padahal, kalau bawa minyak kayu putih kan enak, jadi bisa menghangatkan badan yang kedinginan karena basah kuyup di perjalanan.
- Jangan lupa men-charge lampu led. Kadang saya tidak tahu lampu habis dipakai Dd. Saat dibutuhkan pas mati lampu, lampu led malah kurang terang karena baterainya hampir habis :(
- Simpan persediaan lilin lebih banyak. Teringat waktu tinggal di Palangkaraya yang sering mati lampu, kami punya banyak lilin berukuran besar! Kemarin belum sempat cari. Nanti harus cari!
- Jangan pergi saat perut kosong. Gara-gara pulang kehujanan, esok harinya saya langsung sakit! Untung fisik Aa kuat. Saya meriang dan radang tenggorokan karena sudah dua hari berturut-turut kehujanan pulang dari rumah sakit. Waktu itu saya kehujanan berdua dengan Kk Rasyad. Untung hujannya baru hujan gerimis.
Eyampun mak... perjalanannya menegangkan :). Saya jadi ikut merasakan kegelisahannya.
BalasHapushiks..saya kalo inget jadi kapok :(
Hapusmakasih udah mampir mak :)
ih...serem banget mba :(
BalasHapusdulu saya pernah kehujanan di jalan. deras sekali. sakit kulit saya terkena jatuhan air hujannya. seperti kejatuhan batu kerikil :(
sejak itu saya takut kalau kehujanan di jalan.
Iya, Mbak Neti. Rrasanya memang sakit terkena air hujan deras yg turun dari langit :(
BalasHapusSaya pernah kehujanan sebentar, air hujan yg kena ke kepala rasanya seperti menusuk2. Langsung sakit kepala saat itu juga :(