Klinik Waspada. Sabtu, 14 September 2013. Sekitar pukul 13.00 WIB
Aku memeluk sambil menahan kedua tangannya sesuai instruksi dokter. Sedangkan Bapa menahan kedua kakinya. Jarum suntik ditusukkan. Dd Irsyad yang tadi sudah tenang langsung menangis. Setelah mendiamkannya sejenak, Dokter Ery dan Suster bersiap untuk menjahit luka di kepalanya.
Sebuah benda besi melengkung dikaitkan ke kulit kepala Dd. Aku tidak sanggup melihat lagi. Mataku begitu dekat jika ingin menyaksikan langsung proses menjahit luka. Aku memalingkan wajah, agak menelungkup ke arah dada Dd yang sedang kupeluk. Aroma amis tercium begitu kuat dari bajunya yang masih basah karena darah.
Tiba-tiba, aku merasa mual. Lutut yang sudah lemas sebelumnya karena panik, sekarang ditambah perasaan ingin muntah. Mencoba bertahan, tanpa sadar, aku jadi memeluknya terlalu erat. "Bu, jangan kenceng-kenceng! Nanti anaknya ngga bisa napas!" Astaghfirullah...
Sebuah benda besi melengkung dikaitkan ke kulit kepala Dd. Aku tidak sanggup melihat lagi. Mataku begitu dekat jika ingin menyaksikan langsung proses menjahit luka. Aku memalingkan wajah, agak menelungkup ke arah dada Dd yang sedang kupeluk. Aroma amis tercium begitu kuat dari bajunya yang masih basah karena darah.
Tiba-tiba, aku merasa mual. Lutut yang sudah lemas sebelumnya karena panik, sekarang ditambah perasaan ingin muntah. Mencoba bertahan, tanpa sadar, aku jadi memeluknya terlalu erat. "Bu, jangan kenceng-kenceng! Nanti anaknya ngga bisa napas!" Astaghfirullah...
Sabtu pagi yang sibuk.
Pagi itu aku masih menyempatkan diri membuat postingan blog, sekalian mencicil untuk postingan besok. Aku mengikuti tantangan nonstop ngeblog selama 30 hari tentang resep masakan. Namanya weekend, pasti riweuh dan ngga sempat ngetik. Sementara di luar ibu-ibu tetangga sudah datang menyetor barang-barang bekas yang akan dijual. Ya, setiap hari sabtu, di gang rumah kami diadakan bank sampah. Yaitu mengumpulkan barang bekas yang bisa dijual, lalu uangnya dipakai untuk uang kas warga satu gang. Sambil menunggu Mamang tukang rongsokan datang, aku masih sempat memfoto bahan makanan juga.
Semua kulakukan dengan tenang dan leluasa. 3 boyz diajak Bapa berenang. Setelah selesai mengetik, aku segera ke dapur dan memasak. Siang ini rencananya kami akan kedatangan tamu yaitu seorang teman bernama Irda, blogger asal Medan yang baru tinggal di Bogor. Irda akan datang untuk mengenalkan calon suaminya.
Setelah menerima tamu, kami berencana untuk menginap ke rumah Kakek di Ciapus. Jadi, hari ini aku akan masak banyak. Untuk makan sekeluarga, menyuguhkan tamu, dan menyediakan makanan untuk Eyang yang akan kami tinggal pergi.
Setelah menerima tamu, kami berencana untuk menginap ke rumah Kakek di Ciapus. Jadi, hari ini aku akan masak banyak. Untuk makan sekeluarga, menyuguhkan tamu, dan menyediakan makanan untuk Eyang yang akan kami tinggal pergi.
Menjelang siang, semua pekerjaan rumah sudah selesai. Masakan sudah siap. Aku segera menyuapi Dd Irsyad makan siang. Lalu, suara adzan berkumandang. Bapa dan Aa Dilshad bergegas ke mesjid naik motor. "Tunggu Dd bentar, Dd mau ikut!" ujarku. Namun, Bapa tetap pergi karena Dd sedang makan. Lagipula, membawa Dd itu kadang merepotkan. Saat shalat, Dd tidak bisa diam. Kadang suka naik ke punggung Bapa. Wajar saja Bapa agak malas membawa Dd.
Apa akibatnya? Dd marah dan mulai tantrum. Segala upaya untuk membujuknya seolah sia-sia. Dd tidak mau makan lagi dan terus mengamuk sambil menangis. Dia kesal karena ditinggal pergi ke mesjid naik motor. Begitu terus sampai Bapa kembali dari mesjid.
Karena Dd menangis, Bapa membawa Dd jalan-jalan sebentar naik motor. Aa disuruh naik lagi untuk memegang Dd di boncengan. "Aa laper, pengen makan..." keluh Aa namun ia tetap menuruti perintah Bapa. Aku yang tidak menyangka Dd akan diajak naik motor berkata, "Ya udah kalo mau muter-muter dulu. Ibu bisa pergi nyecep amplop sebentar ke belakang." Aku pun bergegas bersiap berangkat bersama ibu-ibu tetangga. Kami semua, ibu-ibu satu RT, diundang ke acara pengajian syukuran khitanan anaknya Ibu Rofiq di gang belakang. Rencananya aku akan datang sebentar, cuma kasih angpau saja. Jadi sekalian ijin ngga bisa ikut acara pengajian karena mau kedatangan tamu di rumah.
Beberapa menit berselang, tiba-tiba terdengar suara ribut di depan rumah. Tangisan keras Dd dan teriakan kaget Bapa dan Aa! Aku yang sudah rapi langsung menghambur ke luar rumah. Ya Allah! Aku langsung berteriak histeris melihat tubuh Dd terbaring di rumput dan kepalanya mengeluarkan banyak darah karena terbentur pinggiran lantai semen.
Kugendong segera tubuh Dd yang lunglai. Kami sama-sama menangis. Bahkan aku marah-marah sambil menagis. Ya, aku sangat marah! Aku marah pada Bapa yang dari awal tidak mengajak Dd ke mesjid. Jika ikut, Dd pasti tidak akan mengamuk, tidak ada acara muter-muter lalu terjatuh. Aku marah pada Aa yang tidak becus memegangi adiknya. "Aa ditendangin terus, Ddnya ngga bisa diem." katanya. Dan sejujurnya, aku sangat marah pada diriku sendiri! Kenapa tadi tidak ikut? Kenapa malah siap-siap mau pergi ke acara syukuran? Jika tadi aku ikut, pasti Dd tidak akan jatuh karena aku bisa memegangnya dengan kuat. Ah, menyesal memang selalu datang belakangan.
Rupanya, sepanjang jalan selama berkeliling itu, Dd tidak bisa diam karena marah. Dd marah karena ingin jalan-jalan terus dan tidak mau pulang. Dd jadi mengamuk saat motor akan diparkir, dia mengamuk hingga Aa tidak sanggup lagi memegangnya, dan Dd akhirnya terjatuh. Bayangkan apa jadinya jika Dd terjatuh di tengah jalan dan bukan di atas rumput yang empuk. Ya Allah...
Darah yang membuat panik
Panik, takut, marah, kesal, dan sedih. Perasanku campur aduk saat itu. Aku tidak mau terjadi sesuatu pada anak bungsuku. Jangan sampai Dd mengalami hal yang sama seperti saat aku terjatuh terpeleset di dalam rumah dulu. Sama seperti waktu Aa jatuh dari sepeda, aku juga panik. Tapi belum pernah sepanik ini, karena darah yang keluar begitu banyak...
"Kasa! Pakai kasa!" perintah Bapa untuk menghentikan darah yang terus mengalir. Terburu-buru, aku buka lemari etalase, merobek kardus isi kain kasa, dan menempelkannya ke luka Dd. Hingga tinggal sebungkus lagi kain kasa, darah belum juga berhenti. "Bawa ke Waspada!" pintaku. Kemudian kami bergegas pergi, naik mobil.
Beberapa tetangga ikut berdatangan. Aku sempat bingung juga, dari mana mereka tahu? Apakah teriakanku begitu keras? Ah sudahlah. Harus segera ke klinik Waspada untuk mengobati luka Dd.
Setelah kami pergi, Bibik membersihkan rumput tempat Dd terjatuh. Rumput itu sudah berubah warna menjadi merah. Dibutuhkan banyak air untuk menyiram rumput agar warnanya kembali hijau dan semua noda darah menghilang.
Sampai di klinik Waspada, dokter dan suster yang menangani langsung sigap bertindak. Kebetulan Dokter Ery, dokter langganan Eyang, yang sedang bertugas. Dd sudah berhenti menangis. Entah karena sudah lelah atau memang dia kuat menahan sakit. "Anaknya memang diem aja, Bu?" Mungkin mereka heran melihat ada pasien anak umur tiga tahun yang begitu kalem. Ya, sebenarnya Dd memang anak yang tenang dan kuat. Sampai proses menjahit selesai, dia hanya menangis keras karena kaget oleh tusukan jarum suntik. Selama dijahit, dia sangat tenang. Anak yang kuat. Anak ibu yang hebat :')
Selanjutnya, Dokter Ery memberikan obat untuk diminum Dd di rumah. Kami disuruh kembali lagi tiga hari kemudian untuk kontrol luka dan mengganti perban. Sementara Dd belum boleh keramas karena lukanya tidak boleh kena air. Alhamdulillah, luka seperti ini tidak mempengaruhi kepalanya. Namun, aku harus terus memantaunya, berjaga-jaga takut Dd kehilangan kesadaran atau badannya tiba-tiba demam.Jika itu terjadi, Dd harus segera dibawa ke dokter.
"Bu, kalau luka di kepala memang seperti ini. Di kepala banyak pembuluh darahnya. Jadi kalau luka pasti banyak mengeluarkan darah. " Dokter Ery menjelaskan. Beliau menenangkan aku yang masih pucat karena panik. Aku yang sedang berusaha keras menahan diri agar tidak muntah, hanya mengangguk pelan. Aku tidak banyak bicara. Padahal, bisanya aku selalu mengobrol banyak dengan dokter jika mengantar 3 boyz berobat.
Sebenarnya, aku sudah tahu tentang darah di kepala itu. Luka kecilku dulu juga mengeluarkan banyak darah. Begitu juga luka di kepala Aa dulu. Tapi, namanya terjatuh di bagian kepala, aku jadi cemas luar biasa. Anakku masih kecil! Takut, takut sekali jika terjadi sesuatu yang bisa mempengaruhi tumbuh kembangnya gara-gara benturan di kepala. Duh, amit-amit! Mudah-mudahan tidak terjadi.
Orangtua yang panik bisa membuat anak ikut panik juga. Saat kejadian, cuma saya yang panik histeris. Bapa terlihat begitu tenang. Bapa hanya lupa mematikan mesin motor karena terburu-buru masuk ke dalam rumah untuk mengobati Dd. Ya, aku memang ibu yang parno abis. Dibilang lebay? Hhhh... siapa sih yang ngga panik melihat anak bersimbah darah?! Mungkin, kondisiku yang sedang lelah (karena sibuk memasak) dan belum makan membuatku menjadi sangat emosional. Itu juga penyebab mengapa aku bisa merasa mual dan ingin muntah waktu Dd sedang dijahit. Yah, lagi panik begitu, mana kepikiran mau makan :(
Kk Rasyad takut melihat Dd Irsyad
Ketika panik dan histeris, saat menggendong Dd sambil memarahi Aa yang berdiri mematung, aku sempat melihat Kk Rasyad berdiri tidak jauh dari kami. Saat kejadian, Kk sedang membaca majalah di depan tv. Mungkin kami berlari bersamaan ke luar rumah setelah mendengar Dd terjatuh. Sekilas, aku melihat Kk menangis sesenggukan. Kenapa dia menangis? Apakah dia ketakutan melihat aku yang sedang panik? Atau ketakutan melihat Dd yang terjatuh?
Kepulangan Dd, aku, dan Bapa dari klinik sudah dinantikan pleh Eyang, Bibik, Aa, dan Kk dengan cemas. Semua lega dan bersyukur, Dd tidak apa-apa. Setelah kondisi tenang, aku bertanya pada Kk.
"Ka, tadi waktu Dd jatoh, Kk nangis ya?"
Kk hanya mengangguk.
"Kenapa?"
Kk tidak menjawab.
"Kk takut ngeliat Dd?"
Kk mengangguk.
Aku langsung memeluknya. Aku tahu, Kk takut karena Kk sayang Dd...
Apa akibatnya? Dd marah dan mulai tantrum. Segala upaya untuk membujuknya seolah sia-sia. Dd tidak mau makan lagi dan terus mengamuk sambil menangis. Dia kesal karena ditinggal pergi ke mesjid naik motor. Begitu terus sampai Bapa kembali dari mesjid.
Karena Dd menangis, Bapa membawa Dd jalan-jalan sebentar naik motor. Aa disuruh naik lagi untuk memegang Dd di boncengan. "Aa laper, pengen makan..." keluh Aa namun ia tetap menuruti perintah Bapa. Aku yang tidak menyangka Dd akan diajak naik motor berkata, "Ya udah kalo mau muter-muter dulu. Ibu bisa pergi nyecep amplop sebentar ke belakang." Aku pun bergegas bersiap berangkat bersama ibu-ibu tetangga. Kami semua, ibu-ibu satu RT, diundang ke acara pengajian syukuran khitanan anaknya Ibu Rofiq di gang belakang. Rencananya aku akan datang sebentar, cuma kasih angpau saja. Jadi sekalian ijin ngga bisa ikut acara pengajian karena mau kedatangan tamu di rumah.
Beberapa menit berselang, tiba-tiba terdengar suara ribut di depan rumah. Tangisan keras Dd dan teriakan kaget Bapa dan Aa! Aku yang sudah rapi langsung menghambur ke luar rumah. Ya Allah! Aku langsung berteriak histeris melihat tubuh Dd terbaring di rumput dan kepalanya mengeluarkan banyak darah karena terbentur pinggiran lantai semen.
Kugendong segera tubuh Dd yang lunglai. Kami sama-sama menangis. Bahkan aku marah-marah sambil menagis. Ya, aku sangat marah! Aku marah pada Bapa yang dari awal tidak mengajak Dd ke mesjid. Jika ikut, Dd pasti tidak akan mengamuk, tidak ada acara muter-muter lalu terjatuh. Aku marah pada Aa yang tidak becus memegangi adiknya. "Aa ditendangin terus, Ddnya ngga bisa diem." katanya. Dan sejujurnya, aku sangat marah pada diriku sendiri! Kenapa tadi tidak ikut? Kenapa malah siap-siap mau pergi ke acara syukuran? Jika tadi aku ikut, pasti Dd tidak akan jatuh karena aku bisa memegangnya dengan kuat. Ah, menyesal memang selalu datang belakangan.
Rupanya, sepanjang jalan selama berkeliling itu, Dd tidak bisa diam karena marah. Dd marah karena ingin jalan-jalan terus dan tidak mau pulang. Dd jadi mengamuk saat motor akan diparkir, dia mengamuk hingga Aa tidak sanggup lagi memegangnya, dan Dd akhirnya terjatuh. Bayangkan apa jadinya jika Dd terjatuh di tengah jalan dan bukan di atas rumput yang empuk. Ya Allah...
Darah yang membuat panik
Panik, takut, marah, kesal, dan sedih. Perasanku campur aduk saat itu. Aku tidak mau terjadi sesuatu pada anak bungsuku. Jangan sampai Dd mengalami hal yang sama seperti saat aku terjatuh terpeleset di dalam rumah dulu. Sama seperti waktu Aa jatuh dari sepeda, aku juga panik. Tapi belum pernah sepanik ini, karena darah yang keluar begitu banyak...
"Kasa! Pakai kasa!" perintah Bapa untuk menghentikan darah yang terus mengalir. Terburu-buru, aku buka lemari etalase, merobek kardus isi kain kasa, dan menempelkannya ke luka Dd. Hingga tinggal sebungkus lagi kain kasa, darah belum juga berhenti. "Bawa ke Waspada!" pintaku. Kemudian kami bergegas pergi, naik mobil.
Beberapa tetangga ikut berdatangan. Aku sempat bingung juga, dari mana mereka tahu? Apakah teriakanku begitu keras? Ah sudahlah. Harus segera ke klinik Waspada untuk mengobati luka Dd.
Setelah kami pergi, Bibik membersihkan rumput tempat Dd terjatuh. Rumput itu sudah berubah warna menjadi merah. Dibutuhkan banyak air untuk menyiram rumput agar warnanya kembali hijau dan semua noda darah menghilang.
Sampai di klinik Waspada, dokter dan suster yang menangani langsung sigap bertindak. Kebetulan Dokter Ery, dokter langganan Eyang, yang sedang bertugas. Dd sudah berhenti menangis. Entah karena sudah lelah atau memang dia kuat menahan sakit. "Anaknya memang diem aja, Bu?" Mungkin mereka heran melihat ada pasien anak umur tiga tahun yang begitu kalem. Ya, sebenarnya Dd memang anak yang tenang dan kuat. Sampai proses menjahit selesai, dia hanya menangis keras karena kaget oleh tusukan jarum suntik. Selama dijahit, dia sangat tenang. Anak yang kuat. Anak ibu yang hebat :')
Selanjutnya, Dokter Ery memberikan obat untuk diminum Dd di rumah. Kami disuruh kembali lagi tiga hari kemudian untuk kontrol luka dan mengganti perban. Sementara Dd belum boleh keramas karena lukanya tidak boleh kena air. Alhamdulillah, luka seperti ini tidak mempengaruhi kepalanya. Namun, aku harus terus memantaunya, berjaga-jaga takut Dd kehilangan kesadaran atau badannya tiba-tiba demam.Jika itu terjadi, Dd harus segera dibawa ke dokter.
"Bu, kalau luka di kepala memang seperti ini. Di kepala banyak pembuluh darahnya. Jadi kalau luka pasti banyak mengeluarkan darah. " Dokter Ery menjelaskan. Beliau menenangkan aku yang masih pucat karena panik. Aku yang sedang berusaha keras menahan diri agar tidak muntah, hanya mengangguk pelan. Aku tidak banyak bicara. Padahal, bisanya aku selalu mengobrol banyak dengan dokter jika mengantar 3 boyz berobat.
Sebenarnya, aku sudah tahu tentang darah di kepala itu. Luka kecilku dulu juga mengeluarkan banyak darah. Begitu juga luka di kepala Aa dulu. Tapi, namanya terjatuh di bagian kepala, aku jadi cemas luar biasa. Anakku masih kecil! Takut, takut sekali jika terjadi sesuatu yang bisa mempengaruhi tumbuh kembangnya gara-gara benturan di kepala. Duh, amit-amit! Mudah-mudahan tidak terjadi.
Orangtua yang panik bisa membuat anak ikut panik juga. Saat kejadian, cuma saya yang panik histeris. Bapa terlihat begitu tenang. Bapa hanya lupa mematikan mesin motor karena terburu-buru masuk ke dalam rumah untuk mengobati Dd. Ya, aku memang ibu yang parno abis. Dibilang lebay? Hhhh... siapa sih yang ngga panik melihat anak bersimbah darah?! Mungkin, kondisiku yang sedang lelah (karena sibuk memasak) dan belum makan membuatku menjadi sangat emosional. Itu juga penyebab mengapa aku bisa merasa mual dan ingin muntah waktu Dd sedang dijahit. Yah, lagi panik begitu, mana kepikiran mau makan :(
Kk Rasyad takut melihat Dd Irsyad
Ketika panik dan histeris, saat menggendong Dd sambil memarahi Aa yang berdiri mematung, aku sempat melihat Kk Rasyad berdiri tidak jauh dari kami. Saat kejadian, Kk sedang membaca majalah di depan tv. Mungkin kami berlari bersamaan ke luar rumah setelah mendengar Dd terjatuh. Sekilas, aku melihat Kk menangis sesenggukan. Kenapa dia menangis? Apakah dia ketakutan melihat aku yang sedang panik? Atau ketakutan melihat Dd yang terjatuh?
Kk sayang Dd |
"Ka, tadi waktu Dd jatoh, Kk nangis ya?"
Kk hanya mengangguk.
"Kenapa?"
Kk tidak menjawab.
"Kk takut ngeliat Dd?"
Kk mengangguk.
Aku langsung memeluknya. Aku tahu, Kk takut karena Kk sayang Dd...
Cepat sembuh ya Dede. Duh, kasihan kaka. Kaka adek itu baru kelihatan saling menyayangi kalau salah satu sakit atau sedih ya :)
BalasHapusMakasih Mak Lusi :)
HapusIya, terharu banget pas nyaksiin mereka ternyata saling menyayangi :')
emoga cepet semduh, ya, De. Kakak disayang terus, ya, adiknya :)
BalasHapusMakasih Tante Myra :)
HapusOkeh tantee --- kata Kk Rasyad ^_^
Get well soon... :)
BalasHapusOh iya, kalo nulis per paragrafnya dikasih jeda dong, biar enak dibacanya. Hehe.
Mbak Nisa ya namanya? Sy pernah baca lupa di mana. Maap kalo salah :)
HapusMakasih ya mbak :)
Hehe, iyah sudah dibenerin ^_^
Alhamdulillah dede tidak apa2 :)
BalasHapusAnak yg kuat, siapa dulu emaknya :D
Teteh, jadi malu nama saya ikut disematkan, berasa "salah waktu" saat datang kemarin, moment-nya pas ada musibah :(
Semoga kita bisa mengambil hikmah dari pelajaran kemarin ya. Peyuuukkkk teteh dan 3 boyz :*
Aaah Irdaa...aku kan sudah lama menantikan dirimu datang ke rumah. Jangan merasa bersalah dong, sayang. Namanya musibah, kita jg ga nyangka, kan...
HapusAlhamdulillah Dd sudah baik skr n sdh dibuka jahitannya hari ini :)
Peyuuuukkkk ateu irdaaaa :*